GOD IS GOOD

GOD IS GOOD
KASIH YESUS MENAUNGI BUMI

Minggu, 28 November 2010

KEPAUSAN MODERN

KEPAUSAN  MODEREN :
PERNYATAAN DAN KEWENANGAN

Setelah tujuh dekade persaingan ketat secara ideologi-pemimpin Komunis Rusia dan Roma Katolik (Presiden Soviet Mikhail Gorbachew dan Paus Yohanis Paulus II)
mengadakan persetujuan di kota Vatikan, 1 Des.  1989, untuk membuat hubungan diplomatik antara Kremlin dan Vatikan.  Yohanis Paulus II menyebut pertemuan itu “tanda zaman yang secara perlahan menjadi dewasa, tanda yang sangat kaya dalam perjanjiannya.” (The Washington Post, Dec. 2, 1989)
            Tanggapan terkini mengenai kepausan sebagai hati nurani moral dunia bukanlah hanya secara kebetulan.  Pengamatan penulis adalah, Roma “berpikir dalam berabad.”  Keberhasilan kepausan dewasa ini adalah akibat dari rencana yang cermat sudah dibuat,  terus menerus diusahakan.   Terpisah dari pengendalian secara khusus negara modern dan dengan kehilangan wilayah mereka di Itali (1870), maka pemimpin kepausan menggunakan strategi baru untuk menemukan kembali kewenangan Gereja yang sudah hilang.
            Upaya kepausan yang pertama adalah mengembangkan dan menambahkan kekuatan rohani dari gereja, meramalkan gambar paus sebagai “Bapa Suci” yang dicintai dan dipuja- pusat kehidupan gereja yang kepadanya seluruh mata dunia Katolik di pusatkan- yang kata-kata dan petunjuknya harus diterima didalam rasa kagum dan menurut.  Dogma paus tidak bersalah apabila berbicara doktrine (Vatikan 1) memakotai penguatan gereja dari dalam.
            Tapi strategi kepausan juga memandang suatu keterbukaan kepada dunia.   Paus mulai membicarakan mengenai politik dunia, masalah sosial, budaya, medis, pengetahuan, etika, agama, dll,  dengan maksud untuk membentuk pemikrian bangsa-bangsa kepada  pandangan Gereja.  Yohanis XXII melihat kepada dunia dengan wajah senyuman kasih, menempatkan gereja didalam peran pelayanan  kepada kemanusiaan.  Dia mengadakan pertemuan (Vatican  II) dan pembaruan gereja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern.   Dialah yang telah meletakkan usaha mendasar untuk menjangkau wilayah komunis demikian juga “saudara yang berpisah” Kekeristenan Protestan, dan untuk misi perjalan oleh paus terakhir, Paulus VI dan Yohanis Paulus II.  Pada musim bunga  1988,  Paus Yohanis Paulus II sudah mengadakan  40 kali perjalanan mengupayakan  obyektifnya untuk menjadi “hati nurani moral dunia” dan “gembala dunia.”
            Sebagai  akibat dari strategi globalnya pengaruh kepausan sudah mencapai  puncak keberhasilan lebih tinggi dan lebih hebat daripada yang pernah dicapai pada Abad Pertengahan.   Amerika Serikat sudah mempunyai dutanya di Vatikan.  Paus sekarang “sudah menjadi sesuai yang diinginkannya – pejuang hak asasi manusia dan perdamaian, pemimpin sangat dipercaya secara moral, superstar media, “hampir sama dengan Mesias baru”  kepadanya adalah harapan dunia.”
            Tapi apakah kepausan memang sudah berobah ?  Pandangan yang sangat mendasar dari  Paus Yohanis Paulus II menyetujui akan dogma yang sudah lama dipertahankan dalam Gereja mengingatkan pelajar Alkitab  akan pengakuan yang sering diulangi bahwa  “Roma tidak pernah berobah.”  Sebagaimana Ellen White mengamati, “Sementara Protestan adalah membengkok untuk mencapai maksud mereka, Roma bertujuan untuk membangun kembali kuasanya, untuk menemukan keagungannya yang hilang.” (The Great Controversy,  581).
Dalam ulasan ini kita coba menelusuri akan sejarah modern dari kepausan ketika itu bergerak menjadi kekuatan dunia.  Perkembangan yang mengejutkan tapi tetap ini akan mewarnai  garis besar nubuatan akhir zaman.   “Seluruh dunia heran dan mengikut binatang itu. . . . .Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan didalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang sudah tersembeli.”  Wah.  13:3,8.

 

“Pemimpin Efektif”:  Yohanis Paulus II

(1978 -   )
            Memerintah hanya  33 hari, “Paus Pesenyum,”  Yohanis Paulus I, diganti oleh “Paus dari Timur”  untuk pertama kali dalam sejarah kepausan:  Yohanis Paulus II, dari Polandia.  Pertemuan pribadi  menyediakan sensasi :  Untuk pertama kali sejak  tahun 1522 dunia Katolik sekali lagi mempunyai Paus bukan warga Itali.  Namun, tidak lama kemudian,  sesuatu yang lebih penting menjadi kenyatan.   Paus yang baru nampaknya menjadi inkarnasi nyata dari “strategi baru”:  Untuk dunia luar, dia nampaknya seperti Yohanis XXIII,  “Paus berkelana,”  jurukabar lembut “kebudayaan kasih”  untuk penciptaan dunia yang adil; di dalam gereja, dia tunjukkan dirinya seperti Pius XII, Paus disiplin dan konservatif.  Seperti yang H. Kung katakan, “ Ini bukanlah Yohanis Paulus II yang memerintah, tapi Pius XII”   didalam peran dari “komunikator besar” dan “konservator besar.”
            Namun demikian, gereja dan dunia menerima pemimpin  unik dan efektif itu yang sanggup untuk menerangkan nilai-nilai yang membuat kehidupan bernilai untuk dihidupkan, menurut  Vincent O’Keefe,  Yesuit Amerika.

Komunikator Besar.
            Yohanis Paulus II bukan hanya mengakui seluruh dunia adalah jemaatnya, tapi dia juga melakukan segala sesuatu didalam kuasanya  dengan metode yang paling modern untuk menjalankan pengakuannya.  Pada permulaan  bukan perang salib yang dapat menarik paus jauh dari Roma; dewasa ini dia tak mengenal lelah mengadakan perjalanan keseluruh dunia.
            Dalam perjalanan musim bunga  1988, dia sudah melihat  lima benua, berkunjung ke 300 kota lebih, membawakan  1200 pembicaraan, dan melintasi jarak  560000 km.  Dia inginkan perjalananya dianggap sebagai “perjalanan rasuli” dan bukan pengembaraan.  Paus berkunjung kepada semua orang (Katolik, Protestan, Islam, Hindu, yang tak perduli, dan atheisme)  sebagai “hamba persatuan dan perdamaian, “ dia ucapkan di India.
            Seorang harus mencium kaki Innocence III, sebenarnya Pius XII; dewasa ini paus mencium tanah tempat berkunjung.  Dia datang bukan seperti penegak disiplin, tapi dengan sikap lembut dan ramah sebagai “bapa keluarga manusia,”  mendasarkan kuasanya atas kewenangan kasih.   Dia mau menjadi  perwujudan dari hati nurani moral dunia” dan “gembala dunia” dari unit konsentris besar yang sudah diajak oleh pendahulunya Paulus VI.
`Kekeristenan.  Paus menganggap dirinya sebagai “penjamin kesatuan Kristen.”  Selama kunjungannya  ke Dewan Gereja Sedunia di Geneva, dia nampaknya  kepada para pengamat menjadi “fokus kelihatan dan penjamin kesatuan ini.”  Bukan hanya bagi Katolik maka “fungsi kesatuan paus sangat penting,”  tapi para Protestan juga melihatnya.  E. Jungel berbicara mengenai  “representasi kesastuan penting bagi semua orang Kristen;”  U. Kuhn  mengenai  “reunifikasi dibawah kepemimpinan paus yang dapat dipikirkan,  apabila dia rela berfungsi sebagai “hamba” dan bukan sebagai “tuan.”
`           Dewasa ini, Gereja bebas Roma melihat dia sebagai  “jurubicara untuk semua orang Kristen, dan paus sendiri, setelah membaca  “Kesatuan didalam Kebinekaan,” ditulis oleh O. Cullmann, menyatakan dengan kepuasan bahwa  Protestan dewasa ini juga melihat “bahwa gereja tidak dapat terpikirkan tanpa pangkat Petrus.”   Kepada para Protestan yang menderita kareka ketidak berdayaan dari gereja-gereja mereka, kepausan nampaknya menjadi “benteng” melawan kuasa duniawi yang ingin untuk mencuri dari Gereja akan otonominya dan melawan kuasa di dalam dari demoralisasi sekuler.
            Jadi sama sekali tidaklah mengejutkan bahwa para pakar Theologi Katolik, seperti K. Rahner dan H. Fries (Rahner-Fries Plan IVa), sebagai contoh,  walaupun kerelaan mereka yang besar untuk mengakomodasi, mengharapkan Protestan mengenal  “arti dan hak dari Kedudukan Petrus sebagai penjamin konkrit dari kesatuan Gereja.   Disini berbagai komponen gereja-gereja dapat mempertahankan doktrin dan tradisi mereka, selama mereka “tidak memutuskan dan menyuarakan tuduhan ajaran yang menjadi dogma keharusan didalam komponen gereja lain.  Didalam kasus apa saja, hal ini mencakup suatu toleransi dari pihak Protestan akan dogma dari keunggulan Juridisksi dan Infalibilitas.
            Yohanis Paulus II,  sebagai orang Polandia jarang sekali dihadapan dengan  fenomena Protestantisme,  nampaknya tidak melihat hal ini sebelum milinium ketiga dan oleh sebab itu, ingin pertama-tama datang kepada suatu pengertian dengan  gereja Ortodoks.  Tapi didalam mempertimbangkan masa depan “Kesatuan Organik” tujuannya nampaknya diatas dan diseberang konsep dari komponen gereja-gereja ialah bahwa kesatuan untuk semua orang Kristen ini  dapat dipikirkan  hanya  didalamn arti “Gereja Dunia  Cap Roma, yang dibaharui.”  Pangkat,  “Vicar of Christ” (Pengganti Kristus)  sangat dicintai oleh paus modern, dengan demikian nampaknya menjadi pengakuan “Christofication,”  kepada  pangkat satu gembala terhadap satu kawan domba.
            Agama Dunia.  Vatican II, sudah menentukan “bahwa Gereja Katolik tidak menolak segala sesuatu yang benar dan suci didalam semua agama di seluruh dunia. . . Itu adalah sinyal dari kebenaran  yang menerangi semua manusia. . . Bersama-sama dengan para pengikut agama lain, Gereja Katolik memberi nasihat anak-anaknya . . .untuk mengenal, menjaga dan mempromosikan kualitas rohani dan moral  dan juga nilai sosial budaya ditemukan didalam mereka (agama-agama itu).
            “Perjalanan Rasuli” dari paus, dianggap menjadi kelanjutan dari Konsili Vatican sejak  1965,  adalah memberikan pada paus,  kesempatan sebagai “pembangun-jembatan” (F. Heer katakan), untuk membawa agama-agama bersama-sama dan muncul sebagai  “jurubicara untuk seluruh dunia agama.”   Dengan hal ini dalam pikiran Yohanis Paulus mengujungi  synagogue di Roma tahun 1986 dan juga bertemu dengan Dalai Lama di India.
            Tahun  1986 satu titik tinggi sudah dicapai ketika Paus mengadakan pertemuan dengan 150 wakil dari agama Kristen dan non Kristen untuk : “Doa Perdamaian Dunia,” di Assisi, Itali, Oktober 10, 1986.  Disana, dengan Paus berada ditengah, Gereja Katolik  memegang tangan saudara-saudara Kristen dan non Kristen agar dapat menjelaskan  “kesatuan semua manusia tersembunyi, namun sangat dalam berakar .”  Jadi dibawah perlindungan paus, menurut kata-katanya sendiri, Assisi menjadi “hari kasih karunia bagi dunia.”  Untuk seketika maka tujun dari strategi baru dan bagaimana itu akan dicapai sudah dinyatakan:  Dibawah kepemimpinan Paus semua agama harus berdiri bersama-sama agar supaya “menggunakan kuasa agama untuk perdamaian.”   Dunia yang aman  melalui contoh menyelamatkan dan kata-kata seorang pemimpin agama yang tertinggi.   “Pertemuan Puncak Seluruh Agama” sebagai akibat dari pergerakan oikumene, termasuk seluruh agama,  yang pada satu hari kelak akan sanggup bergabung bersama ke dalam agama dunia yang besar.
            Menurut Jean Guitton, pakar Falsafah Katolik dan teman Paulus VI, agama masa depan akan bersifat universal.  Itu akan disebutkan “Oikumene,” mencakup Protestan, Katolik, Kristen Ortodox,  orang tidak percaya dibawah tuntunan seorang pastor yang unik.  Pastor ini adalah paus;  bukan Paus berkewenangan  masa lalu tapi paus federatif masa depan.  Ide ini sudah mendapatkan pengesahan dari mayoritas di dunia ini.
            Selain Budda, Hindu, Islam, Yahudi, dan Animist, pertemuan Assisi dihadiri oleh  Pakar Falsafah Carl Friedrich von Weizacker (yang sudah mengusulkan “konsili Damai” Kristen,  archbishop dari Canterbury, Robert Runcie, Sekretaris Jenderal dari  WWC, Emili Castro, demikian juga oleh wakil dari Lutheran, Baptis, dan Federasi Metodis Sedunia. Hanya sedikit saja seperti orang Waldenses, tidak hadir atau membicarakan “Penggabungan kesalahan”  atau  “penggabungan yang adil”  (M. LeFebvre).
            Dunia.   Vatican II menerangkan gereja sebagai “Sakramen Keselamatan keseluruhan.”  Melalui gereja Allah mencurahkan “Kebenaran dan Kasih Karunia” ke dalam duna; itulah sebabnya mengapa gereja di analogikan kepada Anak Allah Sendiri.  Sebab itu kita janganlah terpukau  bahwa paus juga membuat pengakuan menjadi “Bapa semua manusia.”
            Dalam surat ensiklil yang pertama, Redemptor hominis (1979), Yohanis Paulus II menyatakan bahwa keselamatan tidak dapat diperoleh melalui politik (nampaknya ini melawan akan “theologi liberasi”), tapi itu adalah fungsi dari sarana keselamatan seluruh dunia adalah milik gereja dengan tujuan menuntun seluruh dunia ke dalam “kebudayaan kasih.”
            Di dalam surat ensiklil kedua, Dives in misericordia, paus menjadi  penasihat apokaliptik dunia, sangat bertentangan kepada optimisme Yohanis XXIII yang sedang berjalan.   Dunia ini diancam oleh materialisme Ilmu pengetahuan dan kemajuan tehnis sudah serba salah.  Senjata atom sanggup menghancurkan dunia. Tapi Allah menunjukkan kemurahanNya  melalui gereja yang menjadi pengantara Kristus dan memiliki pengantaraan Mariam.
            Itulah sebabnya mengapa, menurut kepada sekretaris pribadinya Emery Kabongo,  paus tidak salah lagi sudah berada pada jalan agar dapat menyelamatkan dunia (“Paus adalah sama dengan Herkules rohani….mencoba untuk mencegah nuklir Harmagedon”)  Paus diharapkan “untuk menunjukkan jalan masa depan”  Apa yang diharapkan dari PBB sebelumnya, adalah diharapkan oleh paus dewasa ini; ialah, menjadi jurubicara “hati nurani dunia,”  “ajakan pengadilan yang tertinggi  untuk keamanan dari pesemakmuran umum.
            Intervensi Yohanis XXIII di krisis Kuba dianggap menjadi “keselamatan perdamaian dunia,”  dan  Yohanis Paulus II nasihatnya didalam perang Falklands dan didalam petentangan  antara Chile dan Argentina  menjadi “faktor penting didalam politik dunia.”
            Sejak dibukanya hubungan politik dengan kekuatan dunia yang terbesar pada tahun  1984,  maka Vatikan yang kecil itu dianggap “bangsa dunia” (U.S, senator Quayle, kemudian menjadi wakil president).   Pengaruh politiknya  melalui kedudukannya adalah dianggap lebih dari apa yang dapat dipercaya.   Berlawanan dengan Tuhan gereja (Matius  20:25-28), wilayah kekuasaan dan kuasa,  walaupun didalam bentuk kewenangan  baru dan tertinggi, bujukan secara moral, adalah  “katagori kunci dari cara pemikiran Yohanis Paulus II.”  Sama dengan Pius XII, dia muncul untuk mempertaruhkan segala sesuatu pada Amerika Serikat,  menahan akan politik timur sebelumnya.
            Aspek ganda dari cara dia memberikan wejangan, perpaduan dari keramahan dari Yohanis XXIII dan sifat keras seperti besi dari Pius XII, menyebabkan musuh dari Gereja Katolik melihat dia sebagai “sosok paus yang paling berbahaya sejak Pius IX,”  dan ada kemungkinan menerangkan  percobaan pembunuhan pada  13 Mei  1981, juga.  Namun bagi “John Doe Consumer,”  “Bapa cepat” adalah “Show-masternya Allah” menjual dirinya dengan  metode iklan paling modern sebagai pemimpin moral dunia,  dan bersahabat dengan  para pemimpin dunia (Ronald Reagan, Elizabeth II, King Juan Carlos, Jaruzelski, dan Hermut Schmidt)  mendapat pujian dari  pemerintah non Kristen (Raja Hassan dari Maroko)  sebagai  “pendidik orang muda,”   dinyatakan oleh Protestan Inggris dan disebut “Kekasih Amerika” oleh Rosalyn  Carter. Kepada “paus dapat di jamah”   dipuji oleh pemuda Argentina,  “seluruh dunia mencintai anda, dan  orang yang memadati Halaman St. Peter berteriak , “Anda lebih kuat dari supermen.”   Para biarawati  Italia Selatan menyatakan  apa yang banyak kaum wanita pikirkan :  “Dia adalah lebih ganteng dari Yesus Kristus.”
            Dengan sadar, Yohanis Paulus II memelihara gambar sebagai bapa dunia yang populer :  seperti anggota tim kesebelasan  FC Barcelona dan Schalke 04,  dengan menggendong bayi di India, dengan Borris Becker di Vatikan,  sebagai rasul perdamaian pada Mont Blanc, dicium oleh anak wanita di Australia, dan sebagai pengkhotbah TV pada Renungan untuk Hari Minggu di TV Jerman. Bagi bintang sepak bola Horst Hrubesch beraudiensi dengan Paus adalah “Saat yang paling besar didalam hidupnya”;  bintang ski P. Zurbriggen menganggap pertemuannya dengan paus bernilai melebihi dari medali emasnya; dan mantan Chancellor Helmut Schmidt  seorang Protestan ingin membuat pengakuan  kepada Yohanis Paulus II.
            Di dalam cara ini Yohanis Paulus II nampak seperti apa yang dia inginkan – dia adalah pejuang hak asasi dan perdamaian, pemimpin moral yang dapat dipercaya,  kekasih acara misa, superstar untuk media massa,  “hampir sama dengan  Mesias yang baru,”  dalamnya adalah harapan dunia.

Konsevatif Besar.
            Di dalam upaya untuk menggunakan keterbukaan praktek secara luar  didalam gereja juga, Yohanis XXIII sudah dicelah oleh pakar teologi untuk membawakan  “kejatuhan Gereja.”    Oleh sebab itu, Paulus VI dengan cermat berbalik dari  “giovannisme” kepada “reditus ad domum,” kepada  Romanisme dan Kepausan.  Para tradisionis menuntut, Yohanis XXIII  harus diperbaiki.”   Namun, arah seimbang dari Paulus VI nampaknya bagi mereka menjadi pengkhianatan akan  Katolik tradisional. Oleh sebab itu, Yohanis Paulus II,  dianggap menjadi  “kesempatan terakhir untuk berbalik kembali.”
            Nonreformer secara pasti, datang dari satu negara katolik yang konservatif, tidaklah mengecewakan  para tradisionalist sampai sekarang.  Menurut seorang pakar teologi terkenal dari Gereja Katolik, kita sekarang didalam “musim dingin.”  Penganut oikumene dan para progresif sedang membicarakan  “stagnasi dan kemunduran” atau “pemulihan dan inquisisi”:  pakar Vatikan melihat meluasnya  “kontra reformasi.”  (Giancarlo Zizola).
            Struktur.  Ari luar kelihatanya sangat bersahabat, paus dengan tegas menekankan dogma tradisional didalam gereja:  keunggulan  jurisdiction, infalibilitas, Marianisme.  Dengan penunjukkan kardinal J. Ratzinger sebagai kepala Congregation of Doctrine (dulunya  Kedudukan Suci dari Inquisition) maka pemulihan sudah menemukan kepada yang kompeten, tapi juga teguh dalam pendirian.
            Praktek  pemecatan para imam, yang sangat tersebar dibawah Paus VI, sudah dihentikan.  Moral doktrin tradisional mengenai  KB sedang di jalankan terus, demikian juga hukum pelarangan menikah.  Penyimpanan dokumen Inquisisi masih tetap tertutup seperti sebelumnya.  Untuk pastinya, sejak Vatican II index tua ini sudah mati, tapi pengarang yang tidak berkenan masih dapat diperiksa secara ketat dan dipanggil untuk menyangkal tanpa ada kemungkinan sedikitpun untuk membenarkan diri mereka.
            Caranya paus memerintah dewasa ini  hanya dapat  menemukan paralelnya didalam  kediktatoran. Sebagai indikator, mari kita mengambil contoh dari CIC baru (Courpus iuris canonici) didirikan pada thaun  1983,  secara terpusat mengandung,  fungsi-fungsi secara keseluruhan didalam lingkupan Vatikan I dan menyatakan  “kemunduran”  sehubungan dengan Vatikan II, menurut  K. Rahner.  H. Kung berbicara mengenai  “pengkhianatan” dari dewan.  Sementara  dewan berulang membicarakan mengenai “pelayanan” (munus), CIC terus membicarakan  mengenai “kuasa” (potestas).
            “Oleh jasa jabatannya maka paus memiliki kuasa tertinggi, penuh, segera, secara umum di dalam gereja yang dia secara bebas dapat menggunakan kapan saja. . .Itu adalah hak yang diberikan Allah. . . .Dia ada diatas dewan atau  para bishop, keputusan tidak menuntut konfermasi  sama saja dengan tidak ada permintaan (permohonan) kepada pengadilan lebih tinggi terhadap mereka. . . . Paus adalah legislator yang tertinggi,  hakim tertinggi,  pemilik kuasa eksekutif  tertinggi. . . Keputusannya ‘ex cathedra’  adalah tidak bersalah dan mengikat atas seluruh gereja tapi tidak menuntut persetujuan dari gereja.   Sebagai bishop dalam pelayanan kepada  orang kudus dia adalah imam besar yang membagikan  rahasia Allah. . . .kekuasaan paus adalah universal.”  CIC. Cann.  332,333.
            Memang secara luar dia kelihan sebagai  bapa yang ramah tama umat manusia,  meninggalkan tiara dan berjalan kaki telanjang, dia secara dalam adalah “Sanctissimus Pater, Dominus apotolicus, yang lencananya adalah takhta, tongkat gembala, dan lambangnya adalah tiara tua.   Para bishop tetap sebagai “ciptaannya” seperti sebelumnya, dan semua penunjukan para  profesor teologi harus melalui Roma.
Teologi :  Paulus VI masih mencoba untuk bertoleransi pakar teologi kiri tanpa mencabut para pakar teologi yang tidak puas dari mission canonica, Yohanis Paulus II memilih masalah disiplin yang jelas.  Sejak dia memegang jabatan, beberapa pakar teologi yang sangat dikenal  sudah dicabut  sertifikasi mengajar (H. Kung, J. Pohier, Ch. Curran),  atau cara kerja inkuisisional yang memalukan sudah dikemukan dan di jalankan melawan mereka (E. Schillebeeckx, A. B. Hasler, L. Boff).   Paus sendiri tetap jauh atau terpisah dari kasus ini.  Juga dia sudah dengan cerdik memberi peluang kepala Congregation of Doctrine untuk menangani akan masalah-masalah menyentuh, seperti masalah dari  “teologi liberasi.”
            Kontribusi paus sendiri (disini lebih untuk Pius XII daripada Yohanis XXIII) adalah suatu Marianisme yang berlebihan.  Untuk Mariam motonya (totus tuus) adalah dimaksudkan sama dengan ciuman akhir dari kehidupan yang akan sirna.  Di atas Mariam dia terus menerus memanggil (engkau, harapan kami,”  “berbicara kepada kami dengan cara anda mengandung tanpa hubungan dengan pria).  Kepada Mariam, dia menghubungkan kelepasannya dari tangan pembunuh, bersama Maria, umat manusia akan masuk ke dalam milinium ketiga; dan Mariam juga adalah jaminan kesatuan seluruh orang Kristen.  Mariam menuntun kepada Kristus.
            Untuk memastikan, maka ensiklilnya  Redemptoris mater (1987)  tetap didalam ikatan dengan Vatican II,  tapi sesungguhnya harus membawakan kekejutan kepada  orang Kristen yang hanya berorientasi kepada Alkitab saja :  “ Mariam tahu jalan kepada kesatuan,”  dia adalah “contoh utama dan terutama sekali untuk menerangi bagi orang Kristen.  Secara alamiah dia adalah anak darah kekal dan ibu dari Gereja. Sejak Pius XII  tidak ada paus yang sangat kuat sekali menekankan pujaan pada Mariam melebihi  Karol Wojtyla (Yohanis Paulus II).
Pergerakan Oikumene.  Sebagai orang Polandia, Yohanis Paulus II tidak mengetahui ada kelenturan oikumene.  Bagi dia Kekeristenan adalah sama dengan Katolisisme.   Pembaruan bagi dia berarti pemulihan, dan pemulihan berarti penguatan kewenangan paus dan hirarkinya.   Tidak dapat dikritik namun sungguh-sungguh  paus  sanggup mengucapkan ungkapan seperti, “Kristus sudah memberikan gerejaNya sistim pemerintahan hirarki,” atau  “Kristus secara pribadi sudah memberikan kepada Rasul Petrus dengan keunggulan yuridiksi (hak hukum).
            R. Frieling  berpendapat bahwa pemulihan macam apa saja untuk kesatuan dari semua orang Kristen adalah dimungkinkan untuk paus sekarang hanya didalam bentuk “gereja dunia dibaharui dengan cap Roma.  Itu berarti bukan kembali ke, tapi  “kedepan ke Roma.”  Gereja dunia ini paus melihat hanya pada waktu yang akan datang, pada satu ketika dalam milinium ketiga. Sampai waktu itu maka program dibawah ini akan diungkapkan :
  1. Pelayanan kesatuan adalah tugas unggulan dari bishop Roma.
  2. Tanpa kedudukan Petrus  tidak akan ada kesatuan dari gereja yang kelihatan.
  3. Kesatuan menyatakan kesatuan iman, kehidupan sakramen, dan hubungan hirarki.
  4. Dialog para pakar teologi harus tunduk kepada pengawasan magisterium kepausan.
  5. Komunion Eukaristia adalah tujuan yang hanya dapat dicapai pada akhir.

Didalam arti ini permohonan Protestan untuk communion ini harus nampak sebagai diobati dengan baik “dibeli melalui Roma.  Roma menjaga jarak aman dengan para oikumenis Protestan,  adalah menuntut satu konsesi secara berurutan (Paus adalah bukan antikristus, Gereja Roma bukan gereja murtad), dan sedang menjanjikan kesatuan dibawah kepausan pada satu waktu dalam milinium ketiga.
      Dalam opini dari F. Kluber, profesor  Sosial doktrin Katolik,  apabila Roma mempunyai kuasa dari paus abad pertengahan,  itu akan tetap bertindak tidak bertoleransi  seperti pada waktu itu. Apa yang dulu seakan dipaksakan dengan kekuatan dewasa ini sedang diusahakan dengan diplomasi sabar dan perhitungan. Didalam hal ini wajah depan  dapat tetap dipertahankan didalam pergerakan terus menerus oleh model sensational dari kedua sisi ( Rencana  Rahner-Fries;  Persatuan Lutheran Sedunia  “Mendamaikan perbedaan”;  O. Cullmann “Kesatuan dalam keanekaan”; E. Geldbach   “Pergerakan Oikumene dibandingkan.”)   Tapi tanpa Roma tidak ada yang akan terjadi, dan Roma mempunyai cukup kesabaran.  Dia berpikir selama berabad.

Ringkasan

Gambaran yang ditawarkan oleh Katolik dan kepausan di permulaan milinium ketiga ini nampaknya agak berbeda dari apa yang di paparkan selama waktu perkembangan gereja Advent. Di satu pihak  pengakuan agama  sudah memanas diseberang semua batasan (Vatican I – Dogma Infalibilitas; dogma mengenai Mariam; Vatican II – gereja sebagai sakramen keselamatan).
      Di lain pihak gereja Roma sudah membuka dan menyesuaikan dirinya kepada cara berpikir barat modern (Vatican II – kebebasan beragama; gereja dan dunia dan pergerakan oikumene).
      Meskipun pada abad ke 19 Kepausan masih tetap kelihatan menjadi perlindungan kegelapan, reaksi agama, dewasa ini itu muncul menjadi central moral dunia,  bekerja dan membujuk tanpa menggunakan kekuatan luar kecuali suatu ajakan kepada hati nurani.  Untuk pastinya,  tujuan masih tetap sama; unifikasi dunia dibawah gembala dunia; keselamatan “dunia yang sakit” melalui  “kebudayaan kasih” dibawah pemimpin paling terkenal dan dicintai.  Gereja Roma dan Kepausan nampaknya sudah menjadi lebih rumit dan terselubung daripada sebelumnya.
(Ulasan ini di dasarkan pada  bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan ke absahannya dalam bidang literatur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar